Pages

Wednesday, November 30, 2011

Bagaimana Cara Yang Tepat Untuk MEMUJI Anak?..

  • Harus Lebih Spesifik
    Anak menggambar sebuah bunga. Gambar itu bagus sehingga Anda merasa perlu memujinya. Tetapi, jangan katakan, "Gambar itu bagus!". Perhatikan dulu gambarnya dengan cermat. Pilih bagian terbaik dari gambar itu. Bunganya yang berwarna merah, misalnya. Maka katakan, "Bunganya yang merah bagus sekali. Mama suka!"
    Kalimat Anda akan memicunya untuk menggambar lebih baik, sehingga Anda tidak hanya memuji bunga yang merah saja, tetapi juga daunnya, bunga yang kuning dan semua yang ada di gambar itu.
  • Di Depan Orang Lain
    Karena semua orang menyukai pujian, ada baiknya pujian pada si kecil juga tidak hanya diberikan saat dia sendirian. Berikan juga ketika dia sedang bersama yang lain, misalnya ayahnya, gurunya, om dan tantenya. Tetapi gunakan cara yang tidak terlalu langsung. Contohnya, "Ayah sudah melihat gambarmu yang bagus tadi? Coba tunjukkan, pasti komentar Ayah akan sama dengan komentar Ibu tadi!"
  • Iringi Dengan Perhatian
    Agar pujian Anda membuat si kecil lebih termotivasi, barengi dengan perhatian, jadi jangan sekedar memuji. Misalnya, si kecil berhasil mengayuh sepedanya tanpa jatuh. Pujilah! "Bagus! Berarti anak Mama sudah besar ya!"
    Hari berikutnya, saat melihat dia bersiap-siap dengan sepedanya, luangkan waktu Anda untuk melihat sendiri kemampuannya. Di tengah dia bersepeda, acungkan kedua jempol Anda sambil memujinya, sekali lagi. Maka si kecil akan semakin bersemangat.
  • Hargai Usahanya
    Saat anak berhasil menuliskan namanya sendiri, meski belum sempurna, Anda perlu memberikan penghargaan yang lebih dari sekedar kata pujian. Misalnya, "Ayo kita tempel di lemari es. Biar semua orang tahu kalau anak Mama sudah pintar menulis!". Kesediaan Anda memamerkan karyanya itu kepada yang lain, akan membuat si kecil lebih bersemangat dalam meningkatkan kemampuan tulisnya.
  • Pilih Positifnya
    Si kecil mulai bisa memakai celana sendiri, tetapi belum bisa mengenakan kaosnya. Maka pujilah kemampuannya mengenakan celana sendiri itu saja. Jangan singgung-singgung soal ketidakmampuannya memakai kaos sendiri.
    Atau katakanlah, "Pintarnya Anak Ibu, sudah bisa pakai celana sendiri. Jangan lupa kaosnya ya!". Ini lebih baik daripada, "Kenapa tidak sekalian dengan kaosnya?" Kalimat yang terakhir ini akan membuatnya merasa 'kecil' dan belum layak dipuji. Kasihan kan?
  • Pujian Tanpa Syarat
    Pujian yang baik adalah yang diberikan tanpa embel-embel, tanpa syarat. Jangan memuji dengan kalimat, "Mama akan lebih bangga kalau kamu juga bisa pakai kaos sendiri. Biar nggak Cuma pakai celananya saja."

Bunda, Tolong Mandikan Aku Sekali Saja


Dewi adalah seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya.
”Why not to be the best?,” begitu katanya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang 'selevel'; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka. Anak pertamanya itu lahir ketika Dewi diangkat menjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika Bayu berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Ketika ditanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?”
Dengan sigap Dewi menjawab, “Everything is OK, Don’t worry Everything is under control. Saya sduah menyiapkan segalanya!” ujarnya penuh percaya diri.
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas, mandiri dan mudah mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd. dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah.
“Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti, jadilah seperti mereka,” begitu selalu nenek Bayu berpesan, di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau 'memahami' orangtuanya.
Dengan Bangga Dewi menyebut Bayu sebagai anak hebat. "Buktinya ia tidak merengek minta adik lagi," kata Dewi.
Tampaknya Bayu mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku.
Sungguh keluarga yang bahagia. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, banyak yang merasa iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya. "Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please Bunda,” pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan, merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya.
Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku, sekali saja…” suara Bayu semakin penuh tekanan. Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama baby sitter.
Hingga suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter. “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang diperiksa di ruang emergency”. Dewi, ketika diberi tahu soal Bayu, sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD.
Tapi sayang… ia terlambat. Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya.
Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk memandikannya sendiri suatu saat, jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.
Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar. “Ini Bunda Nak…. Hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! Akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya, Nak...”
Satu demi satu orang-orang yang melayat berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara si malaikat kecil. Berkali-kali Dewi, wanita yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan di sekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya dipanggil, ya dia pergi juga, iya kan?”
Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya, dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain. Sementara di sebelah kanannya, Suaminya berdiri mematung seperti tak bergeming. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.
Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak berselang lama, tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat di atas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayang. Ampuni bundamu ya nak…," Serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ke tanah.


Dewi kemudian berteriak histeris “Bangunlah Bayu sayangku. Ayo bangun nak!" pintanya berulang-ulang. “Bunda mau mandikan kamu sayang. Tolong Beri kesempatan Bunda sekali saja Nak. Sekali ini saja, Bayu..m. anakku!” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah.
Lalu ia peluk dan cium pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati. Tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna.
Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya, karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar memandikan seorang anak.
Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, semua para orang tua, yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.